Menilai Jelek Orang Lain
Monday, July 8, 2019
Edit
”Jika Anda menemukan orang-orang yang kurang menyukai Anda. Atau memperlakukan Anda dengan cara yang kurang pantas. Mungkin mereka bukan membenci Anda. Mereka hanya belum mengenal siapa Anda.”
Dalam interaksi kita dengan orang lain, kita sering mengalami pasang surut. Kadang senang, kadang sedih. Bisa benci, cinta, sayang, sebal. Apapun. Namun, dari sekian banyak dinamika itu; kita sering terjebak untuk memperlihatkan evaluasi jelek kepada orang lain. Atau sebaliknya, orang lain yang menilai kita buruk. Padahal, belum tentu evaluasi itu benar.
Bagi Anda yang tertarik menemani saya berguru menjadi langsung yang lebih baik melalui interaksi dengan orang lain, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang, berikut ini:
1. Setiap orang mempunyai sisi baik.
Sesebel-sebelnya kita kepada seseorang, hal itu tidak menjamin jikalau diri kita lebih baik dari orang itu. Jika tidak keberatan, silakan ingat-ingat; siapa orang yang paling tidak Anda sukai? Anda tentu mempunyai alasan untuk membencinya. Tetapi, sebaiknya sesekali Anda berkaca kembali kedalam diri; apakah diri kita tidak mempunyai sesuatu yang bisa menjadi alasan bagi orang lain membenci kita juga? Jika hingga kini semua orang masih menyukai Anda, bukan berarti Anda sempurna. Mungkin alasannya yakni mereka belum pernah Anda kecewakan.
Mungkin diantara Anda ada orang yang pernah saya kecewakan. Saya yakin orang itu tidak menyukai saya. Tetapi, saya yakin benar jikalau sebagian besar orang yang membaca goresan pena ini tidak membenci saya. Mengapa? Karena saya baik? Bukan. Itu alasannya yakni mereka belum ‘merasakan’ pengaruh dari keburukan saya. Kepada saya, mungkin ada yang benci. Tapi, ada juga yang sayang.
Yang kini sayang pun, besok bisa ikut membenci; jikalau ia tahu ‘belangnya’ saya. Selain memperlihatkan bahwa kita ini sama tidak sempurnanya dengan mereka yang kita benci, juga menujukkan bahwa diantara keburukan setiap orang; selalu terselip kebaikan mereka. Maka tantangannya adalah; bagaimana kita bisa semakin mengasah dan mengkilapkan sisi baik itu, sehingga sisi jelek kita semakin meredup. Kabar baiknya, itu yakni proses. Makara kita bisa melakukannya terus menerus.
2. Memahami sebelum memvonis.
Apa yang Anda lakukan jikalau ada orang lain yang salah sangka kepada Anda? Orang itu keliru menilai Anda. Tentu Anda akan berusaha untuk memperlihatkan penjelasan atau mengklarifikasinya, bukan? Kita semua akan berusaha meluruskan evaluasi orang lain yang keliru ihwal diri kita. Begitu pula halnya dengan orang lain yang kita nilai buruk, akan berusaha untuk menciptakan evaluasi kita bermetamorfosis baik.
Mengapa? Karena tidak seorang pun dimuka bumi ini yang rela dinilai buruk. Kita mempunyai kebutuhan intrinsic untuk dinilai baik, dan diterima oleh lingkungan secara baik-baik. Apa yang terjadi ketika Anda menjelaskan ‘yang sebenarnya’? Orang lain akan memahami Anda.
Apa yang terjadi ketika orang lain menjelaskan ‘duduk perkaranya’? Anda akan memahami mereka. Lalu, jikalau sudah ada pemahaman yang tepat itu apakah Anda masih akan menvonis orang lain sebagai orang yang buruk? Ah, tentu tidak. Karena kini Anda sudah memahami ‘apa yang sebenarnya’. Bahkan kepada seseorang yang nyata-nyata berbuat kesalahan pun kita bisa memakluminya jikalau kita memahami ‘mengapa’ mereka hingga melakukannya kan? Kita memaafkannya, meski dengan catatan; ‘jangan mengulanginya lagi’. Atau ‘lain kali kau minta izin dulu dong…’. Atau, ‘kenapa kau tidak terus terang sih sama saya?’ Maka mulai sekarang, kita perlu mendahulukan proses ‘memahami’, supaya tidak sembarangan ‘memvonis’ orang lain.
3. Waspada terhadap sikap yang membahayakan.
Meski kita percaya bahwa setiap orang mempunyai sisi baik, namun kadang kala orang bertemu dengan kita dalam keadaan ‘buruk mode on’. Kalau sekedar jelek perilaku, mungkin kita bisa memakluminya. Tetapi, kalau buruknya bisa membahayakan, ya tentu kita harus bisa melindungi diri. Maka kewaspadaan tetap menjadi piranti yang sangat penting. Justru berbahaya sekali jikalau kita tidak waspada. Bukan curiga loh, tapi waspada. Bahkan terhadap sobat sekalipun. Bukankah banyak tragedi yang membahayakan justru tiba dari orang-orang terdekat kita? Istri waspada pada suami yang ringan tangan juga bagus.
Atau, suami yang waspada pada istri yang tingkahnya aneh. Kepada sobat yang terlalu royal, Anda juga perlu waspada. Karena kewaspadaan bisa mencegah terjadinya sesuatu yang tidak baik. Konon katanya, para pencopet pun tidak berani mengusik orang yang waspada. Ya, kira-kira begitu jugalah untuk keburukan-keburukan lain yang bisa saja dilakukan oleh orang lain kepada kita. Dengan kewaspadaan itu, kita tidak memandang jelek orang lain. Tetapi juga tidak lengah terhadap kemungkinan jelek yang bisa terjadi.
4. Keburukan bisa menjadi guru kebaikan.
Jika seseorang melalukan perbuatan buruk, bukan kepada Anda; apa yang Anda lakukan? Teman saya misalnya, sangat benci sekali kepada seseorang. ‘Emangnya apa yang sudah ia lakukan sama elu?’ begitu saya bertanya. “Enggak ada.” Katanya. Lho? Aneh ya? Kita membenci orang lain yang tidak melaksanakan apapun pada kita. “Gue semek aja sama kelakuannya,” katanya lagi. Kita sering membenci langsung seseorang bukan alasannya yakni mereka mengusik diri kita. Apa urusan kita, kan? Anda boleh memberi perlawaan kepada orang-orang yang memperlakukan Anda buruk. Tetapi pada orang yang tidak mengusik Anda?
Jikapun orang itu perilakunya jelek kepada orang lain, maka cukuplah kita jadikan hal itu sebagai guru untuk meningkatkan nilai kebaikan kita. Misalnya, jikalau Anda tidak suka sikap jelek tertentu sobat Anda, maka Anda punya cermin supaya jangan hingga melaksanakan keburukan yang sama. Coba perhatikan orang-orang disekitar Anda. Banyak yang perilakunya kurang baik.
Menggunakan BB untuk merayu istri orang. Meminjam uang tapi ogah bayar. Mencedrai kepercayaan pasangannya. Mengambil yang bukan haknya. Kita tidak perlu ikut membenci langsung mereka. Tetapi, kita bisa jadikan keburukan-keburukan yang mereka lakukan sebagai pelajaran dan energy yang menguatkan kita untuk istikomah atau teguh dalam nilai-nilai kebaikan.
5. Bukan kita yang berhak menilai.
Bahkan para penyidik dan jaksa pun bisa salah dalam menilai orang lain. Apalagi yang memang sengaja dibentuk salah atau diputarbalikkan faktanya. Kita? Lebih bisa salah lagi dalam menilai. Faktanya kita tidak mempunyai kemampuan untuk menilai secara obyektif dan akurat, kok. Makanya, kita tidak diberi hak untuk menilai orang lain. Jika bukan kita yang menilai lantas siapa yang mengontrol sikap orang? Kenapa pusing. Sudah ada staff khusus yang ditugaskan Tuhan untuk melaksanakan pengawasan menempel atas perilaku, tindak tanduk dan tingkah polah setiap pribadi. Tuh, disebelah kanan Anda; Ada petugas pencatat amal baik.
Dan disebelah kiri Anda? Ada petugas yang tanpa kompromi menulis keburukan apapun yang Anda lakukan. Mereka tidak pernah lengah. Bahkan disaat semua orang sedang pada tidur. Jadi, jikalau kita merasa bisa menunggu orang lain lengah gres melaksanakan tindakan buruk, kita salah besar.
Jika kita merasa bisa menyembunyikan barang bukti, kita keliru. Oh, betapa petugas yang Tuhan pilih itu tidak pernah henti mengawasi gerak-gerik kita. Hal ini memberi kita 2 kesadaran. Pertama, betapa kita tidak mempunyai ruang untuk berbuat jelek tanpa ketahuan. Kedua, betapa kita tidak mempunyai hak untuk menilai baik buruknya orang lain. Maka, jikalau orang lain buruk, tak perlu pusing; ia akan mempertanggungjawabkan keburukannya. Dan jikalau kita yang buruk? Ehm, orang lain mungkin tidak tahu. Tapi petugas jaga Tuhan? Menyaksikan hingga setiap detailnya.
Bagaimanapun juga, interaksi kita dengan orang lain merupakan sebuah proses yang berjalan dua arah. Karenanya, sebuah korelasi yang baik tidak bisa dibangun hanya oleh salah satu pihak. Jika Anda menemukan orang-orang yang kurang menyukai Anda. Atau memperlakukan Anda dengan cara yang kurang pantas. Mungkin mereka bukan membenci Anda. Mereka hanya belum mengenal siapa Anda.
Maka, memperlihatkan nilai-nilai positif didalam diri Anda merupakan sebuah kebutuhan. Oleh karenanya, kita perlu berguru mendorong diri kita sendiri untuk terus memperlihatkan sisi baik yang kita miliki. Bukan untuk menyembunyikan sisi buruk, melainkan untuk selalu berusaha mengambil pilihan-pilihan yang baik, meski sesungguhnya kita berkesempatan untuk melaksanakan hal buruk. Semoga, dengan begitu kita bisa menjadi langsung yang tetap baik.
Sekalipun kita semua mempunyai sisi buruk. Dengan demikian, kita mempunyai kesempatan untuk mendapati buku catatan amal kita lebih banyak berisi kebaikan daripada keburukan.
dadang kadarusman
Berbagai Sumber